9Redaksi - Ada benang merah yang dapat kita ambil dari salah satu fenomena yang ada di tengah masyarakat kita dan sekitarnya yaitu mengapa mendarah daging bahkan turun temurun mensakralkan bulan Apit, sehingga amat tunduk dengan keyakinan bahwa menyelenggarakan acara
pernikahan atau hajatan pernikahan bakal ketiban sial?
Hal ini disebabkan, selama ini umat mendapat info cuma dari katanya atau bukan dari ajaran Islam. Begitu pula bagi yang memahami ajaran Islam, tidak punya kemauan kuat dan keberanian untuk meluruskannya. Bahkan ironisnya, terkadang justru ikut terbawa arus.
Allah swt berfirman dalam QS, Al Baqarah: 147, “Kebenaran dari Tuhanmu, janganlah engkau termasuk orang – orang yang ragu”. Bila dibiarkan, keyakinan tersebut akan terus dilestarikan kepada generasi berikutnya. Betapa tidak?.
Pertama, Bulan Apit adalah salah satu bulan yang amat mulia, justru dipahami menjadi bulan yang amat angker. Diantara kemuliaan bulan Apit atau bulan Dzulqa’dah adalah sebagai bulan haji, sebagaimana Allah swt firmankan dalam QS.Al Baqarah: 197, “Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi”. Dibulan tersebut, adanya perjanjian damai Hudaibiyah dan Rasul saw melaksanakan umrah hingga empat kali.
Kedua, terus menerus berburuk sangka kepada Allah swt, karena sudah mendahului taqdir Allah swt berkaitan dengan nasib yang akan terjadi pada seseorang. Bukankah seharusnya kita selalu berbaik sangka kepada Allah swt? Allah swt berfirman dalam hadits qudsinya, “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. Bukankah menikah sudah dijamin akan mendatangkan rezeki sebagaimana janji Rasul saw: “Nikahilah wanita, karena akan mendatangkan rezeki bagimu”.(HR. Hakim dan Abu Daud)
Ketiga, Sesuatu yang haq dianggap bathil, sedangkan yang bathil dianggap haq. Menikah adalah ibadah yang amat dianjurkan oleh Rasul saw, “Nikah adalah sunnahku, siapa saja yang menolak sunnahku, berarti bukan umatku”. (HR. Ibnu Majah). Begitupula menyelenggarakan acara hajatan pernikahan, “Adakan hajatan pernikahan, walaupun hanya memotong satu ekor kambing”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua ibadah tersebut, tidak ada satupun dalil syar’i yang melarang diadakan dibulan Apit. Justru dibulan itu, Rasul saw menikah dengan seorang janda tua bernama Maimunah binti Haris dan menikahkan cucunya bernama Ummu Kulsum binti Ali bin Abi Thalib dengan Umar bin Khattab ra. Bila adanya pantrangan menikah atau menyelenggarakan hajatan pernikahan dibulan itu, berarti kita sudah menganggap sesuatu yang haq menjadi bathil yaitu mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ironisnya, justru yang bathil kita anggap haq dan tidak di yakini bakal ketiban sial. Misalnya menikah atau atau hajatan pernikahan yang dikotori dengan berbagai hiburan yang terdapat berbagai kemaksiatan berupa: busana artis yang porno, miras, perjudian, dsb. Bukannya pahala berlimpah yang akan diraih, justru sebaliknya mendapat dosa yang bejibun. Rasul saw menginngatkan, “Siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, maka akan mendapatkan dosa sebanyak orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dosanya”. (HR. Muslim).
Begitu pula, perbuatan maksiat membuat oranglain ketiban sial, karena akan mengundang murka Allah swt untuk segera menurunkan bencana. Peribahasa mengatakan,”Orang yang makan nangkanya, kita yang kena getahnya”. Allah swt berfirman dalam QS Al Anfal : 25,“Takutlah kalian akan bencana yang tidak hanya mengenai orang – oang yang berbuat zhalim saja diantara kamu”.
mengapa bila ketiban sial karena melanggar perintah dan larangan Allah swt dan Rasul-Nya kita tidak takut bahkan berani menantang?
Bukankah ancaman Allah swt sudah dibuktikan dengan berbagai musibah yang terus terjadi di Bangsa kita berupa Tsunami di Aceh, Gempa bumi di Yogyakarta, dsb? Begitu pula, fakta tak terbantahkan, bahwa kemaksiatan akan membuat lingkungan menjadi tidak kondusif karena dipicu oleh hiburan yang mengundang syahwat dan miras, akhirnya terjadi tawuran hingga terjadi pembunuhan. Rasul saw bersabda : “Khamar (miras) adalah biangnya kejahatan”.
Pertanyaannya adalah mengapa bila ketiban sial karena melanggar perintah dan larangan Allah swt dan Rasul-Nya kita tidak takut bahkan berani menantang? Disinilah pentingnya kepedulian menegakkan amar maruf dan nahi munkar, agar kita semua tidak ketiban sial. Rasul saw memberikan ultimatum, “Demi dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, hendaknya engkau bersungguh – sungguh menyuruh yang maruf dan mencegah yang munkar atau Allah akan datangkan bencana, lalu kamu berdoa kepadaku, maka tidak dikabulkan. ” (HR. Muslim).
Berbagai alasan adanya pantangan menikah atau hajatan pernikahan dibulan Apit. Pertama, Bulan Apit adalah bulan kejepit. Kedua, bulan Apit adalah bulan panceklik alias langka duit. Ketiga, bulan Apit adalah larangan bulan. Ketiga hal tersebut, sebenarnya gak nyambung bila dihubungkan dengan pantrangan menikah atau hajatan pernikahan. Point pertama, bulan Apit bulan kejepit, karena bulan tersebut berada diantara hari raya Idul Fitri dan hari raya idul Adha. Kalau rumus menghitungnya seperti itu, maka setiap bulan akan kejepit. Misalnya, bulan Shafar akan kejepit bila berada diantara bulan Muharram dan Rabiul Awwal.
Point kedua, bulan Apit bulan panceklik, karena dahulu banyak yang mata pencahariannya hanya bertani disawah. Walaupun demikian, untuk membeli keperluan lain tetap mampu jika diniatkan. Apalagi zaman sekarang dalam mencari nafkah sudah berbagai jenis mata pencaharian. Point ketiga, bulan Apit larangan bulan sangat betul cuma bukannya larangan menikah atau hajatan pernikahan, tetapi larangan berperang, sebagaimana Allah swt tegaskan dalam QS. Al Baqarah : 217, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang pada bulan itu adalah dosa besar”.
Berikutnya larangan berbuat zhalim, sebagaimana Allah swt tegaskan dalam QS. At - Taubah: 36, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan. Sebagaimana dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu”.
Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya menjelaskan larangan berbuat zhalim dibulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan rajab) karena bulan yang amat dimuliakan Allah swt. Bagi yang berbuat dosa pada bulan tersebut, akan dilipatgandakan dosanya. Begitupula sebaliknya, bila berbuat kebaikan, pahalanya akan dilipatgandakan. Walhasil, bila menikah atau hajatan pernikahan dibulan Apit, pahalanya akan dilipatgandakan, selama tidak dirusak dengan berbagai kemaksiatan.
Mari kita buang jauh – jauh keyakinan palsu bahwa menikah dibulan Apit bakal ketiban sial.
Sebaliknya, kita harus bertawakal (berserah diri) dan berdo’a kepada Allah swt memohon keselamatan disetiap melakukan perbuatan baik apapun, sebagaimana firmannya dalam QS Al Maidah : 153 “Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah”. Begitu juga, mari kita kokohkan keyakinan bahwa melanggar perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya yang justru akan mendatangkan sial di dunia dan akhirat.
Mudah-mudahan tulisan yang amat sederhana tentang
Menikah di Bulan Apit Bakal Ketiban Sial, Benarkah? ini memberikan pencerahan bagi kita semua. Jangan Lupa Like & Share Yaa, agar mereka semua mengetahuinya.