PANGGILAN ABANG, ADIK, UMI, ABI KEPADA PASANGAN (SUAMI/ISTRI) ADALAH ZIHAR!!! DI zaman sekarang, banyak pasangan yang dengan sengaja memanggil
istri/suaminya dengan panggilan-panggilan "kekerabatan" yang sering
diasumsikan sebagai panggilan kesayangan. seperti istri yang memanggil
suaminya dengan panggilan ABANG, KAKAK, PAPI, ABI, Dll, begitu juga
sebaliknya, suami memanggil istrinya dengan sebutan ADIK, MAMI, UMI,
Dll.
Untuk menambah kemesraan dan panggilan kesayangan bagi pasangan
mereka ini sudah lumrah terjadi bagi siapa saja. Akan tetapi, tahukah
anda, jika tanpa diketahui, dan disadari, panggilan-panggilan tersebut
ternyata mengandung konsekwensi hukum dalam Islam. panggilan tersebut
bagian dari penyerupaan mahram dalam Islam, dan membuat yang dipanggil
atau yang memanggil terkena konskwensi hukum layaknya hubungan mahram
(haram untuk dinikahi). dalam Islam, dikenal dengan istilah ZIHAR.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN ZIHAR?
Secara bahasa Zhihar adalah pecahan dari Zhahrun (punggung). Sedangkan
menurut Istilah Zhihar adalah ungkapan suami yang menyerupakan istri
dengan punggung ibunya. Seperti ungkapan “Anti kazhahri ummi-Engkau
bagiku laksana punggung ibuku”.
HUKUM ZIHAR.
Hukum Zhihar berdasarkan kesepakatan para ulama adalah haram. Ini
dilandaskan kepada Firman Allah “Orang-orang yang menzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah
isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.(QS. Al-Mujadalah: 3). Dalam ayat ini
ada frasa kalimat “Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu perkataan mungkar dan dusta” adalah indikasi (Qarinah) akan
keharaman Zhihar.
Ibnu Katsir menuturkan ayat diatas turun berdasarkan peristiwa yang
menimpa Khuwailah Binti Tsa’labah. Dia berkata, demi Allah, karena
peristiwa saya dan suami saya Aus bin Shamit. Allah menurunkan surat
Al-Almujadalah. Khuwailah melanjutkan ceritanya. “Pada suatu hari, saya
berada disisisuamiku, sedang dia adalah orang yang sudah tua renta.
Perangainya menjadi jelek dan suka membentak-bentak saya. Pada suatu
saat dia masuk ketempat saya untuk memberikan sesuatu kepada saya. Lalu
dia marah-marah seraya berkata “Engkau bagiku laksana punggu Ibuku”.
Kemudian dia keluar, lalu duduk-duduk di kebun kurma beberapa lama.
Kemudian dia masuk lagi kepada saya, maka tiba-tiba dia sangat
menginginkan saya (untuk bersetubuh). Saya berkata kepadanya “jangan kau
dekati saya. Demi Allah yang jiwa saya berada ditanganNya, jangan
sekali-kali kamu menyentuh saya. Karena kamu telah mengucapkan kata-kata
itu (zhihar). Lalu Allah memutuskan perselisihan keduanya”(HR. Imam
Ahmad dan Abu Dawud).
UNGKAPAN-UNGKAPAN ATAU PANGGILAN YANG TERMASUK ZIHAR.
Sudah lazim diketahui bahwa zhihar adalah penyerupaan Istri dengan ibu.
Dalam ayat dan hadist zhihar di identikkan dengan punggung, maka maksud
dari ungkapan tersebut adalah seluruh hal yang bisa menyerupai ibu.
Karena kalimat Zhihar (punggung) adalah ungkapan sebagaian yang
dimaksudkan untuk seluruhnya.
Maka, menyamakan Istri dengan tangan, rambut, betis dan anggota tubuh
lain dari ibu merupakan bentuk zhihar. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Dari sini bisa
diambil kesimpulan bahwa memanggil istri dengan panggilan ibu, umi,
mami, mamah, dan semisalnya adalah haram karena sudah masuk dalam
kategori zhihar. Hal ini bisa di fahami dalam sebuah hadits bahwa ada
seorang suami yang memanggil isterinya “Wahai ukhti!”. Mendengar hal
tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah
dia memang saudarimu?!”. Nabi membenci hal tersebut dan melarangnya. (HR
Abu Daud no 2210 dan 2211).
Ulama’ berbeda pendapat ketika menyamakan Istri dengan mahram-mahram
lain selain dari ibu. Seperti kepada kaka perempuan, adik perempuan,
bibi, atau saudara perempuan sepersusuan.
Imam Maliki, Syafi’ie dan Abu Hanifah berpendapat; bahwa penyerupaan
istri dengan mahram selain dari ibu itu menjadi zhihar sekalipun
penyerupaannya dengan mahram dari sepersusuan. Imam Ahmad menegaskan
“sesungguhnya penyerupaan istri dengan mahram selain dari ibu adalah
zhihar”.
Pengharaman penyerupaan kepada mahram selain dari ibu, berdasarkan qiyas
dimana yang menjadi ‘Illatnya adalah pengharaman yang abadi , dan
pengharaman yang abadi ini hanya ada pada mahram.
Penjelasan ini masih menyisakan satu pertanyaan, bagaimana bila suami
yang memanggil istrinya dengan sebutan ibu, mamah, Ummi, dan sebagainya.
tidak diniatkan untuk zhihar?? jawaban dalam masalah ini adalah. bahwa
ungkapan zhihar sama dengan ungkapan pada akad-akad muamalah yang lain;
sepeti jual jual beli, nikah, cerai, dan sebagainya. disini yang dilihat
bukan niatnya tetapi apa yang diucapkan. sehingga walau tidak diniatkan
zhihar tetapi ucapannya adalah ucapan zhihar, maka hal tersebut jatuh
kedalam zhihar.
Suami yang telah menzhihar istrinya haram, haram menyetubuhi istrinya
sebelum dia membayar kifarat (Denda). Hal ini berdasarlam ayat”Dan
orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan orang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur” (Al-Mujadalah: 3). Juga
hadist Nabi Saw dari Ibnu Abbas “Sesungguhnya seorang menzhihar
istrinya, kemudian dia mencampurinya, kemudian dia datang menghadap
Rasulullah SAW seraya berkata “Sesungguhnya saya sudah mencampuri Istri
saya sebelum saya kifarat. Rasulullah SAW bersabda “janganlah kamu
dekati dia (menyetubuhi istrinya). Sehingga melaksanakan apa yang telah
Allah perintahkan”.(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Annasa’ie dan Ibnu Majah).
KIFARAT (DENDA) BAGI SUAMI YANG MEN-ZIHAR ISTRINYA.
Suami yang menzhihar Istrinya, maka dia wajib menbayar kifarat (Denda)
sebelum dia bercampur dengan Istrinya. Sebagaiman yang termaktub dalam
surat Al-Mujadalah. Allah SWT Berfirman “Orang-orang yang menzhihar
isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak
mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah
supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum
Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” (QS.
Al-Mujadalah: 3-4).
Dan juga hadist Nabi SAW “Dari Salamah bin Shakhr al-Bayadhl bercerita,
Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita
tidak seperti kebanyakan orang. Ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah
menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan berakhir. Pada suatu malam
tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku
kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka akupun
melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui
kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku
berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai
persoalan ini.
Maka jawab mereka, ’kami tidak mau. Kami khawatir
jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw
bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya.
Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini.
Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka
akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw.
kemudian aku utarakan hal
tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu
melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan inilah supaya Rasulullah aku
akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas diriku,” Sabda Beliau
”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki (seorang
budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua
bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang
telah menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau,
”Kalau begitu bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang
miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa
yang Haq sesungguhnya kami telah menginap semalam (tatkala terjadi
perselisihan itu sedang kami akan makan malam.
’Maka sabda Beliau
”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bershadaqah dari Bani Zuraiq.
Kemudian katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu
(dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang miskin, dan
selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).”(Shahih: Shahih
Ibnu Majah no:1677, Ibnu Majah I : 665 no:2062 dan ’Aunul Ma’bud VI:298
no:2198, Tirmidzi II:335 no:1215.
Alangkah lebih romantis nya jika panggilan-panggilan yang kita sematkan
pada pasangan diganti atau dirubah dengan panggilan-panggilan yang tidak
ada hubungannya dengan panggilan-panggilan mahram, dan diganti dengan
panggilan lain yang lebih romantis seperti panggilan rasul kepada
istri-istrinya, seperti humairah (gadis yang merona), dlll. atau
panggilan-panggilan lain seperti bebeb, honey, sayang, dll.
wallahu ta'ala a'laa..
Copas dari Notes Facebook Detty Meriyanti
Semoga bermanfaat dan membawa kebaikan bagi kita.